Sidoarjo, tagarjatim.id – Tradisi adab dan etika di lingkungan pondok pesantren tetap dijaga dengan ketat oleh para santri, di tengah gelombang modernisasi dan perubahan sosial yang semakin cepat. Di Pondok Pesantren Manba’ul Hikam, Putat Tanggulangin, Sidoarjo, nilai-nilai penghormatan terhadap guru dan kiai tetap menjadi napas utama dalam keseharian para santri.
Setiap hari, para santri di pondok tersebut menunjukkan keteladanan melalui sikap sopan santun terhadap pengasuh pondok, KH Abdul Wachid Harun. Mereka menundukkan pandangan saat berbicara, mencium tangan guru, hingga ikut membantu pekerjaan sehari-hari di lingkungan pesantren.
“Santri yang tidak memiliki adab kepada guru, meskipun ilmunya tinggi, tidak akan mendapat keberkahan. Adab adalah pintu ilmu,” ujar KH Abdul Wachid Harun saat ditemui di kediamannya, Senin (20/10/2025).
Menurut KH Wachid, adab bukan sekadar formalitas atau simbol penghormatan, melainkan landasan spiritual yang menjadi awal dari pencarian ilmu. Oleh karena itu, para santri baru dibimbing secara khusus untuk memahami makna adab sebelum memulai pelajaran agama.
Tradisi yang berlangsung sejak lama itu tak hanya mencerminkan tata krama, tetapi juga menjadi bagian dari pendidikan karakter. Ziarah, sowan kiai, menyapu halaman pondok, hingga membantu dapur pesantren dilakukan dengan kesadaran pribadi, bukan semata karena perintah.
“Semua ini adalah bagian dari latihan batin. Santri dilatih untuk ikhlas, sabar, dan rendah hati. Ini penting agar mereka tidak hanya pintar, tetapi juga berakhlak,” kata Ahmad Faruq (22), santri senior asal Gresik.
Namun, tak jarang tradisi pesantren disalahartikan sebagai bentuk feodalisme. Sikap hormat yang ditunjukkan santri kepada guru dianggap berlebihan oleh sebagian masyarakat luar. Pandangan ini, menurut para kiai, muncul karena minimnya pemahaman terhadap nilai-nilai yang hidup di pesantren.
Pondok Pesantren Manba’ul Hikam menjadi salah satu contoh lembaga pendidikan Islam yang terus menjaga keseimbangan antara pelestarian tradisi dan adaptasi terhadap perkembangan zaman. Meski dunia digital semakin memengaruhi cara hidup generasi muda, pesantren tetap menanamkan bahwa adab lebih utama daripada sekadar penguasaan teknologi atau ilmu.
“Di sini kami tidak hanya belajar kitab. Kami belajar bagaimana hidup dengan etika dan hormat kepada sesama,” ujar Siti Naila (18), santri asal Lamongan.
Melalui pelestarian nilai-nilai tersebut, pesantren berharap dapat mencetak generasi yang tak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kuat secara moral dan spiritual. Mereka kelak diharapkan mampu membawa nilai-nilai luhur pesantren ke tengah masyarakat yang lebih luas.(*)
























