Jember, tagarjatim.id – Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan Jawa Timur turut menyoroti dugaan lambatnya kinerja polisi dalam merespon laporan perkosaan di salah satu desa di Kecamatan Balung, Jember.

Keterlambatan respon polisi ditambah kelalaian pemerintah desa dinilai memperburuk situasi dan mengancam keselamatan korban.

Kepala Ombudsman RI Perwakilan Jawa Timur, Agus Muttaqin, menyayangkan lemahnya respons sejumlah pihak yang seharusnya memberikan perlindungan sejak awal. Ia menilai, baik pihak Polsek Balung maupun aparatur desa tempat korban tinggal tidak menjalankan tugasnya sesuai prosedur yang diatur dalam hukum.

“Aparatur desa kuat terindikasi melakukan maladministrasi karena tidak mendampingi korban sebagai warga yang membutuhkan perlindungan hukum.

Sementara itu, polisi juga terlambat melakukan tindakan, sehingga pelaku berhasil melarikan diri dan kini harus segera ditetapkan sebagai DPO,” ujar Agus Muttaqin saat dikonfirmasi pada Rabu (22/10/2025).

Seperti diberitakan sebelumnya, SF diduga diperkosa oleh seorang tetangganya SA. Namun saat mengadukan nasibnya ke perangkat desa setempat, sang kades yang berinisial SF malah menyarankan agar korban berdamai dan menikah dengan terduga pelaku pemerkosaan.

Masalah bertambah saat SF melapor ke Polsek Balung bersama anggota keluarganya. Karena polisi tidak segera mengamankan terduga pelaku meski posisinya sudah jelas. Sehingga terduga pelaku keburu kabur.

Menyikapi hal tersebut, Agus menyebut Ombudsman akan membuka opsi investigasi proaktif terhadap dugaan pelanggaran prosedur pelayanan publik, terutama pada tahap awal penanganan kasus. Ia menyoroti sikap kepala desa yang justru menyarankan penyelesaian secara kekeluargaan—langkah yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

“Kasus kekerasan seksual tidak boleh diselesaikan secara informal atau kekeluargaan. Pendekatan seperti itu justru memperburuk kondisi psikologis korban dan mengabaikan prinsip perlindungan hukum yang sudah diatur dalam UU TPKS,” tegas mantan jurnalis Jawa Pos ini.

Ombudsman juga menyoroti fakta bahwa korban harus membayar sendiri biaya visum et repertum di rumah sakit. Menurut Agus, hal itu menunjukkan lemahnya koordinasi antarinstansi dalam pelaksanaan layanan terpadu bagi korban kekerasan seksual. Hal ini diungkap oleh Ketua PC Fatayat NU Jember, Nurul Hidayah yang menjadi pendamping korban.

“Negara seharusnya hadir di fase paling awal perlindungan korban. Jika korban masih harus menanggung biaya visum dan tidak mendapat pendampingan psikologis, berarti sistem layanan publik kita gagal memberikan perlindungan yang seharusnya,” ujar Agus.

Kasus dugaan pemerkosaan terhadap SF dilaporkan ke Polsek Balung pada 15 Oktober 2025. Namun, beberapa hari setelah laporan dibuat, tidak ada tindakan berarti. Pelaku berinisial SA (27), yang diketahui masih memiliki hubungan kekerabatan dengan kepala desa setempat, dilaporkan telah melarikan diri.

Kini, penanganan kasus tersebut telah diambil alih oleh Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Jember. Sementara itu, sejumlah organisasi masyarakat sipil seperti LBH IKA PMII Jember, Kopri PMII Jember, dan Fatayat NU Jember turut memberikan pendampingan hukum dan psikologis bagi korban, serta mendesak agar proses hukum berjalan cepat dan transparan.

Lebih lanjut, Ombudsman Jatim mengajak masyarakat, pendamping korban, dan organisasi sipil untuk segera melapor ke Ombudsman jika menemukan indikasi kelalaian atau penyimpangan prosedur dalam penanganan kasus serupa. Setiap laporan akan diproses melalui mekanisme pemeriksaan dan klarifikasi sesuai ketentuan yang berlaku.(*)

iklan ucapan HUT kota batu ke 24 dari Jatim Park Grup