Kota Malang, tagarjatim.id – Kementerian Hukum dan HAM menggelar sosialisasi RKUHP, Rabu (28/05/2025). Sosialisasi yang digelar secara daring ini diikuti akademisi, praktisi hukum, dan instansi penegak hukum seluruh Indonesia.
Sosialisasi ini mendapat respon dari pakar hukum di Malang. Tiga pakar hukum dari Universitas Widyagama, Universitas Islam Malang (Unisma), dan Universitas Merdeka (Unmer) Malang menegaskan pentingnya perlindungan hak tersangka dan korban dalam pembaruan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (R KUHAP).
Pernyataan ini disampaikan usai mengikuti webinar sosialisasi R KUHAP bertema “Menuju Sistem Peradilan Pidana yang Efisien, Adil, dan Terpadu”.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang, Dr. Ibnu Subarkah, menilai R KUHAP merupakan momentum penting untuk memperkuat perlindungan hukum bagi semua pihak, terutama tersangka dan korban.
“Setiap orang berhak atas keadilan yang setara di depan hukum, baik tersangka maupun korban. Pembaruan KUHAP harus menguatkan prinsip keadilan prosedural dan menghapus diskriminasi dalam proses penegakan hukum,” tegasnya.
Ia menambahkan, sistem peradilan pidana harus membangun kepercayaan publik melalui proses yang transparan, akuntabel, dan menjunjung hak asasi manusia.
Dekan Fakultas Hukum Unisma, Dr. Arfan Kaimuddin, menekankan bahwa efisiensi dalam sistem peradilan pidana harus dibarengi dengan jaminan terhadap hak-hak tersangka dan korban.
“Efisiensi tidak boleh menyingkirkan prinsip keadilan. Hak atas pendampingan hukum, hak untuk tidak disiksa, dan hak korban untuk memperoleh ganti rugi harus dilindungi dalam sistem baru ini,” ujarnya.
Ia juga mendorong Kementerian Hukum dan HAM untuk memperhatikan praktik nyata di lapangan agar regulasi baru tidak hanya normatif, tetapi aplikatif.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang, Dr. Faturahman, menyoroti pentingnya pembagian tugas dan wewenang yang tegas antar lembaga penegak hukum agar hak-hak tersangka dan korban tidak terabaikan.
“Ketika peran polisi, jaksa, hakim, dan advokat tumpang tindih, yang dirugikan adalah masyarakat. KUHAP baru harus mempertegas batas peran agar hak-hak setiap individu dalam proses hukum tidak terlanggar,” jelasnya.
Ia berharap KUHAP yang akan berlaku pada 2026 dapat menghadirkan keadilan yang menyeluruh dan berimbang, termasuk pemulihan bagi korban dan perlindungan hukum yang layak bagi tersangka.
Ketiga akademisi tersebut sepakat bahwa pembaruan KUHAP harus berorientasi pada keadilan substantif, bukan hanya penegakan norma hukum. Dalam sistem yang ideal, tersangka tidak dianggap bersalah sebelum putusan, dan korban berhak atas proses yang cepat dan tuntas.(*)





















