Kota Surabaya, Tagarjatim.id – Industri perhotelan di Indonesia tengah menghadapi tekanan berat. Sepanjang tahun berjalan, tingkat hunian (okupansi) turun, pendapatan merosot hingga 50 persen, sementara stimulus yang digelontorkan pemerintah dinilai belum cukup untuk memulihkan pasar.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Maulana Yusran, menyebut penurunan okupansi secara tahunan (year-on-year/yoy) mencapai 3,51 persen. Dari sisi pendapatan, penurunan bahkan jauh lebih dalam.
“Itu yang mengisi kegiatan di ballroom. Segmen-segmen MICE berkontribusi ke revenue hotel 50% sampai 60%, bahkan ada hotel yang sampai 80% mengandalkan sektor pemerintah,” ujarnya, Rabu (24/9/2025).
Menurut Maulana, kondisi ini tak lepas dari melemahnya permintaan dari sektor pemerintah. Selama ini, kontribusi belanja pemerintah mencapai 40–60 persen terhadap pendapatan hotel nasional, terutama lewat penyelenggaraan kegiatan di ballroom dan segmen MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition).
Namun, kebijakan efisiensi anggaran pusat serta pemangkasan dana transfer ke daerah (TKD) membuat belanja pemerintah untuk kegiatan perhotelan makin terbatas. Dampaknya terasa di daerah yang minim aktivitas korporasi.
Pariwisata juga belum mampu menutup kekosongan. Bali relatif lebih baik berkat kunjungan wisatawan mancanegara, namun tidak mencerminkan kondisi nasional. Daya beli masyarakat yang masih rendah semakin menekan industri.
Stimulus berupa PPh 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) yang bisa dimanfaatkan pekerja hotel dianggap hanya sedikit membantu. “Banyak daily worker yang tidak lagi kami serap, bahkan ada yang hanya bekerja dua minggu dalam sebulan,” jelas Maulana.
Menurutnya, stimulus berbasis tenaga kerja memang positif, tetapi belum efektif jika pasar tetap lesu. “Sejauh ini saja industri hotel masih minus. Untuk mengejar pertumbuhan positif di sisa tahun ini tampaknya cukup berat,” pungkasnya. (*)