Sidoarjo, Tagarjatim.id – Seorang pemuda yang ditangkap dalam rangkaian penindakan terhadap aksi demonstrasi pada Agustus 2025, sekaligus tahanan kasus dugaan kepemilikan senjata api, Alfarisi bin Rikosen (21), meninggal dunia di Rutan Kelas I Surabaya, di Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoarjo, pada Selasa (30/12) pagi. KontraS menilai kematian tersebut mengindikasikan dugaan kelalaian dalam standar penahanan dan mendesak pemerintah melakukan penyelidikan independen.
Kepala Rutan Kelas I Surabaya, Tristiantoro Adi Wibowo, mengatakan bahwa sebelum meninggal, Alfarisi sempat dibawa ke poli kesehatan rutan karena mengalami kejang-kejang. Ia menduga Alfarisi mengalami gagal pernapasan sebelum akhirnya dinyatakan meninggal dunia.
“Tadi pagi yang bersangkutan mengalami kejang-kejang. Teman satu sel langsung membawa ke poli, dan kemudian dinyatakan meninggal. Diagnosis awal karena gagal pernapasan,” ujar Adi Wibowo, Selasa (30/12/2025).
Adi Wibowo menambahkan, berdasarkan keterangan keluarga, Alfarisi memiliki riwayat kejang sejak kecil.
“Kami mendapat informasi dari kakak kandungnya bahwa sejak kecil korban memang sering mengalami kejang, bahkan sempat kambuh saat ditahan di Polda Jatim,” ujarnya.
Sebelumnya, Alfarisi berstatus terdakwa dalam perkara dugaan kepemilikan senjata api dan dijerat UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951. Ia ditangkap pada 9 September 2024 di tempat tinggalnya di Kecamatan Bubutan, Kota Surabaya, lalu ditahan di Polrestabes Surabaya sebelum dipindahkan ke Rutan Medaeng.
“Perkaranya dijadwalkan memasuki tahap penuntutan pada 5 Januari 2026, sehingga Alfarisi meninggal sebelum memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,” ujar Fatkhul Khoir, Koordinator Badan Pekerja KontraS Surabaya.
Khoir juga menyoroti buruknya kondisi penahanan dan kegagalan negara melindungi hak tahanan. Selama masa penahanan, Alfarisi dilaporkan mengalami penurunan berat badan drastis hingga 30–40 kilogram.
“Kondisi fisik korban menurun signifikan. Hal ini menunjukkan dugaan tidak terpenuhinya standar minimum penahanan serta layanan kesehatan di dalam rutan,” katanya.
KontraS menilai kematian tahanan dalam penguasaan negara merupakan indikator serius kegagalan perlindungan hak hidup.
“Setiap kematian di dalam tahanan menimbulkan tanggung jawab langsung negara. Karena itu, penyelidikan harus dilakukan secara cepat, independen, imparsial, dan transparan,” tegas Khoir.
KontraS juga mendesak pemerintah memastikan pertanggungjawaban hukum apabila ditemukan unsur kelalaian aparat, serta melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kondisi penahanan dan layanan kesehatan di Rutan Kelas I Surabaya maupun rutan lain di Indonesia.(*)





















