Surabaya, tagarjatim.id – Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pengendalian Banjir di DPRD Surabaya hampir tuntas. Panitia Khusus (Pansus) memastikan regulasi ini disiapkan sebagai dasar hukum yang kuat untuk memperkuat upaya pencegahan dan penanganan banjir, termasuk banjir rob yang rutin terjadi di sejumlah wilayah kota.

Wakil Ketua Pansus Raperda Pengendalian Banjir, Aning Rahmawati, mengatakan seluruh materi pokok raperda telah diformulasikan secara teknis dan aplikatif. Ketentuan pengendalian banjir dirancang langsung dalam pasal-pasal agar dapat dijalankan secara nyata.

“Raperda pengendalian banjir ini hampir finish. Kami sudah memasukkan solusi-solusi pengendalian banjir langsung ke dalam pasal, agar tidak hanya normatif tapi bisa langsung diimplementasikan,” ujar Aning, Minggu (21/12/2025).

Salah satu substansi penting dalam raperda ini adalah pengaturan kerja sama lintas kewenangan. Ketentuan tersebut memberi ruang hukum bagi Pemerintah Kota Surabaya untuk ikut menangani banjir di sungai yang kewenangannya berada di tingkat provinsi, Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS), maupun Jasa Tirta.

“Selama ini pengendalian banjir sering terhambat karena perbedaan kewenangan sungai. Dengan pasal kerja sama lintas kewenangan ini, pemkot bisa lebih leluasa mencari solusi tanpa terhalang batas administrasi,” jelas politisi Komisi C DPRD Surabaya itu.

Raperda ini juga mengatur pembangunan drainase kota secara bertahap dan terencana. Penentuan prioritas pembangunan saluran akan berbasis pada kriteria teknis yang jelas, sehingga pembangunan drainase tidak lagi dilakukan secara acak dan parsial.

Untuk kawasan pesisir, Pansus menegaskan penanganan banjir rob harus dilakukan secara menyeluruh. Regulasi ini mewajibkan pembangunan pintu air, bozem, dan pompa di setiap saluran primer yang bermuara ke sungai, tidak hanya mengandalkan tanggul semata.

“Banjir rob tidak bisa diselesaikan dengan tanggul saja. Harus ada pintu air, bozem, dan pompa agar aliran air benar-benar terkendali,” tegas Aning.

Aspek penyediaan ruang resapan air juga menjadi perhatian utama. Pemerintah Kota Surabaya diwajibkan menyediakan ruang resapan minimal 30 persen dari total Ruang Terbuka Hijau (RTH). Sementara itu, pengembang diwajibkan menyediakan ruang resapan sekurang-kurangnya 3 meter kubik per 100 meter persegi luas lahan.

“Ini hal krusial. Soal tampung air tidak bisa ditawar. Karena itu, kami juga akan mengundang para developer dalam forum konsultasi publik agar aturan ini dipahami dan bisa diterapkan dengan baik,” paparnya.

Sebagai penguat implementasi, raperda ini juga mengamanatkan penyusunan rencana induk drainase kota paling lambat satu tahun setelah perda disahkan. Dokumen tersebut akan ditetapkan melalui Peraturan Wali Kota sebagai pedoman teknis.

“Tanpa rencana induk drainase, perda ini tidak akan efektif. Karena itu kami wajibkan pemkot menyusunnya maksimal satu tahun sebagai panduan teknis,” pungkas Aning. (*)