Kota Malang, tagarjatim.id – Lembaga Ecological Observation and Wetland Conservations (Ecoton) menemukan 11 dari 12 sampel air di wilayah Malang telah tercemar mikroplastik. Temuan ini diungkap dalam kegiatan Talkshow Membangun Kesadaran Hukum Lewat Bencana Mikroplastik di Universitas Widyagama Malang, Rabu (5/11/2025).
Peneliti Ecoton, Rafika Aprlianti, menjelaskan sampel diambil dari sumber air tanah, air permukaan, air rebusan, dan air PDAM. Kandungan mikroplastik bervariasi antara satu hingga tujuh partikel per sampel, terdiri atas jenis film/filamen dan fiber.
“Mikroplastik filamen berasal dari degradasi kantong plastik, sementara fiber berasal dari serat pakaian sintetis seperti poliester yang terlepas saat proses pencucian,” kata Rafika.
Ia menambahkan, paparan mikroplastik secara fisik dapat mengganggu kesehatan manusia, seperti merusak jaringan paru, hati, hingga sistem imun tubuh.
Dalam kegiatan tersebut, sekitar 100 mahasiswa mengikuti pengujian air yang mereka bawa dari rumah masing-masing. Ecoton mengajak peserta untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, seperti air minum kemasan, sachet produk perawatan diri, dan kantong plastik.
Rafika menjelaskan hasil riset Ecoton bekerja sama dengan Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) di 18 kota se Indonesia pada Mei–Juli 2025 (periode peralihan menuju musim kemarau) mengungkapkan hujan yang rendah membuat partikel mikroplastik di udara bertahan lebih lama tanpa terlarut atau terendapkan, sehingga hasil pengukuran lebih representatif.
Hasil penelitian ini, kata dia, menunjukkan konsentrasi mikroplastik tertinggi di Jakarta Pusat, mencapai 37 partikel dalam dua jam pengambilan sampel di Pasar Tanah Abang, Jalan Katedral Sawah Besar, dan kawasan Ragunan.
Sebaliknya, Malang menjadi wilayah dengan kadar terendah, hanya dua partikel dalam dua jam di lokasi seperti Dusun Lowok, Dusun Jatirejo (Pakisaji), dan Kelurahan Kiduldalem.
Koordinator Kampanye Ecoton, Mochammad Alaika Rahmatullah, menambahkan mikroplastik di udara berasal dari aktivitas manusia yang melibatkan plastik sekali pakai, mulai dari kegiatan domestik, transportasi, industri hingga konstruksi.
“Partikel berukuran sangat kecil bahkan bisa menembus pembuluh darah, mencapai organ vital, dan memicu respons imun serta efek neurotoksik,” jelasnya.
Alaika menegaskan perlunya langkah pengendalian yang komprehensif, meliputi pembatasan plastik sekali pakai, pengaturan emisi kendaraan, pengelolaan sampah ramah lingkungan, serta perluasan ruang terbuka hijau.
Sementara itu, Dosen Hukum Lingkungan Universitas Widyagama Malang, Purnawan D. Negara, mendorong Pemerintah Kota Malang segera menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Pembatasan Plastik Sekali Pakai.
“Sebanyak 22 kota/kabupaten di Jawa Timur sudah memiliki regulasi serupa. Jika pengambil kebijakan membiarkan mikroplastik, sejatinya sedang memupuk bencana. Mikroplastik merusak rantai makanan dan kesehatan manusia, sehingga harus dikendalikan,” tegasnya.(*)
























