Gresik, tagarjatim.id– Ribuan meter kubik kayu ilegal ( Ilegal Logging) yang diangkut dengan kapal tongkang, dalam kasus pembalakan liar di pulau Sipora, Mentawai, yang diungkap oleh Satgas Penertiban Kawasan Hutan( PKH) dan diamankan di dermaga pelabuhan Jasatama Gresik, mulai dikeluhkan sejumlah Asosiasi Kepelabuhan Gresik, lantaran keberadaannya dianggap dapat mengganggu aktifitas bongkar muat.
Asosiasi Kepelabuhanan Kabupaten Gresik yang terdiri dari INSA, PELRA, APBMI, ALFI dan ISAA, kini mendesak pihak Satgas Penertiban Kawasan Hutan untuk segera menuntaskan proses hukum kasus illegal logging di Pulau Sipora, Mentawai, Sumatera Barat tersebut, yang barang buktinya berupa kayu log sebanyak 4.610 meter kubik, masih diamankan di Gresik.
Dalam keterangannya, pihak asosiasi juga menyatakan dukungan penuh mereka, pada upaya Presiden Prabowo Subianto dalam penertiban kegiatan ilegal, termasuk pembalakan hutan. Namun begitu, para pelaku usaha pelayaran dan perkapalan itu meminta Satgas agar segera menuntaskan proses hukum serta tidak tebang pilih.
“Kami mendesak kepada Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) yang menangani kasus tersebut untuk segera menuntaskan proses hukumnya agar mendapatkan kepastian hukum dan kegiatan kepelabuhanan di Pelabuhan Gresik berjalan lancar dan normal kembali,” ujar M. Kasir Ibrahim, Ketua DPC Indonesian National Shipowners Asscociation (INSA) Gresik, Rabu (22/10/2025).
Menurut Kasir, desakan tersebut tidak terlepas dari adanya barang bukti kapal tongkang Kencana Sanjaya dan tugboat Jeneobra yang mengangkut 4.610 meter kubik kayu. Hingga kini, kapal berukuran besar itu masih bersandar di area dermaga PT Gresik Jasa Tama (GJT) Gresik.
Keberadaan barang bukti tersebut cukup menghambat aktivitas dan kelancaran aktifitas bongkar muat di pelabuhan Gresik, serta dikhawatirkan juga mengganggu suplai kebutuhan komoditas kayu dan barang yang menggunakan jalur laut.
“Pelabuhan Gresik sebagai pintu masuknya kapal kayu bagi perusahaan-perusahaan industri kayu, baik lokal maupun ekspor harus juga terpenuhi ketersediaan dan kelancaran distribusi kayu tersebut. Jangan sampai terjadi stucknan yang dapat berakibat pada tidak beroperasinya industri-industri perkayuan tersebut dan terjadi PHK yang pada akhirnya menambah angka pengangguran,” lanjutnya.
Dijelaskan Kasir, meski belum menghitung angka kerugian yang dialami, namun menurutnya keberadaan barang bukti kayu ilegal asal Hutan Sipora Sumatera Barat juga menimbulkan stigma negatif. Khususnya beban psikologis pelaku usaha yang biasa menggunakan jasa pelabuhan Gresik. Pihaknya pun mendesak adanya kepastian hukum dengan penuntasan kasus tersebut.
“Ada ketakutan untuk menyandarkan kapalnya di Gresik. Karena harus antre dan butuh waktu yang lebih lama. Apalagi lokasi dermaga tersebut memiliki spesifikasi tertentu,” ungkapnya.
Sekedar diketahui, selain dari INSA Gresik, pernyataan sikap Asosiasi Kepelabuhanan Gresik itu juga diikuti oleh Ketua DPC PELRA (Perusahaan Pelayaran Rakyat) Ramly, Ketua APBMI (Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia) Zulkifli, Ketua ALFI (Asosiasi Logistik Forwarder Indonesia) Agus Irwan dan Ketua ISAA (Indonesia Shipping Agency Association) Hasan.
Seperti diberitakan sebelumnya, Kasatgas PKH Garuda, Mayjend TNI Dody Triwinarto dalam press rilisnya menyatakan bahwa penindakan kasus ilegal logging tersebut merupakan upaya pemberantasan penebangan liar dari hulu ke hilir. Atas pengembangan operasi di kawasan hutan Sipora seluas 31 ribu hektare.
“Jenis praktik pembalakan liar terorganisir oleh PT Berkah Rimba Nusantara (BRN) dan seorang individu berinisial IM,” tuturnya.
Dirinya menjelaskan modus licik pembalakan liar, dimulai dari pemalsuan dokumen legalitas kayu dengan memanfaatkan Pemilik Hak Atas Tanah (PHAT) atas nama Martinus selaku warga lokal. Bermula dari luas PHAT sah 140 hektare, namun perusahaan menebang hingga 730 hektare, termasuk jalan hauling dalam kawasan hutan produksi seluas 7,9 hektare.
Nah hasil pembalakan liar itu lalu dijual ke PT Hutan Lestari Mukti Perkasa di Gresik. Dengan total kurang lebih 12 ribu meter kubik kayu sejak Juli hingga Oktober 2025. Total kerugian negara ditaksir mencapai Rp239 miliar. Terdiri dari kerugian ekosistem Rp 198 miliar dan nilai ekonomi kayu Rp 41 miliar.
“Sudah dilakukan 3 kali pengiriman kayu ilegal melalui perairan Surabaya,” pungkasnya.(*)
























